1. Konsep Makhluk dan Manusia
Antropologi menurut seorang filsuf wanita Grace de
Laguna pada tahun 1941 merupakan sebuah ilmu yang sangat luas. Antropologi tidak
hanya membongkar anggapan mengenai superioritas ras dan kebudayaan tapi juga
mempelajari sebuah bangsa secara keseluruhan baik dari aspek budaya, politik
dan lain-nya. (Wiranata, 2011)
Sementara itu, Makhluk dan Manusia dalam antropologi tergolong
kedalam antopologi fisik, yaitu antropologi yang mempelajari serta mengkaji
asal-usul manusia, evolusi, struktur tubuh dan dilengkapi dengan studi tentang
analisis penduduk dan juga perkembangan perkembangan sosial.
A. Makhluk
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Makhluk didefinisikan sebagai sesuatu yang
dijadikan atau diciptakan oleh Tuhan (seperti manusia, binatang dan
tumbuh-tumbuhan). Sedangkan, menurut Kimbal (1983), Makhluk memiliki arti
sebagai segala sesuatu yang memiliki ciri-ciri yakni bersifat rumit,
responsive, berevolusi, mengadakan metabolisme, serta melakukan proses
reproduksi.
B. Manusia
Berbicara
tentang manusia seperti sebuah pelajaran sepanjang hayat, karena manusia merupakan makhluk yang sangat
komprehensif dan mudah menyesuaikan diri dengan hidupnya maka berbagai teori
tentang manusia pun ramai dikemukakan oleh para filsuf.
Plato salah satu dari para filsuf awal yang hidup pada 427 SM-347
SM mengatakan bahwa manusia terdiri dari
tiga bagian utama, yaitu nous (akal), thumos(semangat), ephitumia
(nafsu). Menurut plato, manusia yang bisa menyeimbangkan 3 hal itu akan
menjadi manusia yang berhasil, namun manusia yang tidak bisa menyeimbangkan 3
hal tersebut maka akan terus terpenjara jiwanya selama masa hidup. Jika
ditinjau kedalam kacamata antropologi, maka manusia yang tidak dapat menyeimbangkan
3 bagian utama dalam hidupnya juga akan berdampak kedalam masyarakat. Contoh
mudahnya adalah dalam keluarga sebagai lingkup masyarakat terkecil, jika 3 hal
ini tidak berjalan seiringan dan sesuai porsinya maka bisa saja terjadi
kekerasan dalam rumah tangga, kemalasan dalam mencari kerja dan berusaha yang
jika ditarik ke ranah kesehatan maka akan menimbulkan masalah-masalah yang tidak
akan pernah selesai. (Prasetyo, 2013)
Sebagaimana Charles Darwin dalam teori evolusinya mengatakan
bahwa manusia merupakan evolusi dari kera bungkuk hingga menjadi manusia yang
berbadan tegap seperti saat ini. Disertai dengan prototype Manusia purba
yang ditemukan oleh para arkeolog menjadi suatu menarik. (Koentjaraningrat, 1986) Bahwa segala sesuatu dijagad raya ini dapat
dijelaskan melalui teori sebab akibat. Manusia ada di dunia karena ada manusia sebelumnya berreproduksi. Hal ini sesuai
dengan pemikiran dari Thomas Hobbes seorang filsuf beraliran empirisme dengan
konsep tentang manusianya yang terkenal. Thomas Hobbes hidup pada tahun 1588-1679.
Dalam pandangannya, manusia tidak lebih dari sebuah benda alami dengan ada yang
mengelilinginya. Ketika manusia bergerak berarti ada situasi yang membuatnya
harus bergerak dan contoh-contoh lainnya. Ini merupakan sebuah pesan tersirat
bahwa setiap hidup manusia apapun yang terjadi itu merupakan sebuah pembelajaran
yang abadi karena jika ditelusuri pasti ada sesuatu dibalik segala peristiwa
yang terjadi. (Prasetyo, 2013)
2. Sejarah
Manusia dalam Mencari Makanan
Makanan dan Manusia merupakan sebuah kesatuan yang
tidak bisa dipisahkan. Ditinjau dari ranah spiritual, sebelum manusia pertama Nabi
Adam A.S dan Siti Hawa turun kebumi, makanan menjadi bahasan utama yang
dibahas. Dalam Al-Qur’an makanan disebut kedalam 2 istilah yaitu ta’aam dan
aklun. Dalam Tafsir Al-Azhar karya Buya Hamka, makanan dikelompokan menjadi
beberapa penafsiran yaitu makanan yang sehat, makanan yang harus dimakan secara
proporsional dan sesuai dengan kebutuhan, makanan sebagai seruan, memiliki rasa
aman terhadap makanan dan makanan sebagai anugrah. Buya Hamka juga menambahkan
bahwa makanan sangat berpengaruh dalam jiwa manusia “Suatu suapan yang haram
kedalam perutnya, maka tidaklah akan diterima amalnya selama empat puluh hari,
makanan yang tidak baik akan merusak kesehatan dan juga merusak akal budi”. (Mulizar, 2016)
Ditinjau dari kacamata sejarah, berkaca dari penemuan kerangka
manuisa purba pertama dijawa yang terdapat di pinggiran sungai menandakan bahwa
manusia purba sejak awal masa pra sejarah sudah membutuhkan makanan, terlihat
dari cara hidup mereka yang memilih tempat hidup didekat sungai yang mereka
jadikan sebagai sumber penghidupan mereka. Seiring berjalannya waktu dan
penyesuaian manusia purba dengan alam serta perpindahan jaman maka manusia
purba beralih cara mencari makannya dengan berburu, hingga bercocok tanam yang
masih dijalani oleh manusia modern sampai saat ini. (Jati, 2013)
Sebuah kisah tercatat dalam sejarah agraria
probolinggo pada tahun 1855, ketika musim kemarau berlangsung panjang pada masa
itu petani terus menunggu dengan penuh harap bahwa hujan akan segera turun. Hingga
akhirnya hujan turun para petani mulai mengemburkan tanahnya dengan penuh suka
cita. Sepenggal cerita diatas bisa menjadi gambaran bahwa kedudukan makanan dan
mencari sumber makanan menjadi sesuatu yang sangat di prioritaskan. (Tauchid, 2009)
3. Keterkaitan
Makanan dengan Status Sosial dan Budaya
Dalam catatan sejarah, makanan tidak hanya dianggap
sebagai sesuatu pemenuh kebutuhan namun jauh dari itu makanan juga bisa dikaitkan
dengan sebuah identitas. Makanan merupakan suatu produk yang berhubungan dengan
system tingkah laku dan tidakan yang terpola dari suatu komunitas masyarakat
tertentu. Makanan juga tidak bisa lepas dari factor pertanian didaerah dan merupakan
produksi dari system budaya juga. Selain dari factor demografi, factor kebiasaan
yang bisa dilihat dari cara pengolahan makanan juga menjadi suatu identitas
makanan tersebut. Misalnya masakan jawa yang cenderung manis, masakan sumatera
yang cenderung pedas dan lainnya. (Banudi & Imanuddin, 2017)
Kisah yang terjadi pada masa ke khalfahan Umar bin
Khatab bisa menjadi sebuah fakta bahwa makanan juga dapat menilai status social
seseorang. Orang kaya dan pemilik kekuasaan cenderung lebih dinilai memiliki makanan
yang berlimpah, sedangkan masyarakat dibawah harus sampai memasak batu untuk menyenangkan
anak-anaknya yang sedang kelaparan.
Dari sudut pandang lain, kita sering mendengar bahwa
ada beberapa makanan yang memang disediakan untuk para kaum bangsawan
dimasa-masa tertentu. Seperti coto makassar yang hanya bisa dinikmati oleh
raja-raja bugis pada saat itu, gudeg yang menjadi makanan kesukaan raja raja
mataram dan naniura makanan khas batak yang dahulu hanya bisa di jumpai dalam
jamuan makan raja-raja batak. Dalam arti lain, makanan bukan hanya sebagai
pemenuhan kebutuhan pangan. Tapi, makanan juga bisa diartikan sebagai sebuah
identitas yang cukup berarti.
Ditinjau dari aspek sosial makanan juga bisa
menimbulkan masa bagi kesehatan dikarenakan pembiasaan budaya yang sudah turun
temurun. Berkaitan dengan gender, di Indonesia bagian timur misalnya ketika
dalam satu keluarga memakan ayam maka ayah akan mendapatkan bagian dada dan
paha sementara ibu dan anak perempuan mendapatkan bagian sayap. Ditinjau lebih
jauh sebenarnya hal ini dapat menimbulkan masalah, terlebih kandungan protein
didalam dada ayam serta paha ayam cenderung lebih tinggi dibandingkan bagian
lainnya. Sehingga konsumsi protein jika dibandingkan berdasarkan genderpun akan
berbanding terbalik. (Banudi & Imanuddin, 2017)
Pemberian edukasi, peran serta stakeholder terkait menjadi salah satu kunci dalam menyelesaikan permasalahan ini. Kesalahpahaman dan ketidaksesuaian budaya dengan ilmu pengetahuan rasanya menjadi tantangan tersendiri di negara Indonesia yang memiliki ribuan suku bangsa dan tentu secara harfiah ilmu dan budaya bisa berjalan seiringan dengan pemahaman dan pendekatan yang tepat dari semua sector.
Referensi
Banudi, L., & Imanuddin. (2017). SOSIOLOGI DAN
ANTROPOLOGI GIZI. Kendari: Forum Ilmiah Kesehatan (FORIKES).
Jati, S. (2013). PRASEJARAH INDONESIA : Tinjauan Kronologi
dan Morfologi. Sejarah Dan Budaya, 7(2), 20–30.
Koentjaraningrat. (1986). Pengantar llmu Antropologi.
393.
Mulizar, M. (2016). Pengaruh Makanan dalam Kehidupan Manusia :
Studi Terhadap Tafsir Al Azhar. Jurnal At-Tibyan, 1(1), 118–142.
https://doi.org/10.32505/at-tibyan.v1i1.35
Prasetyo, N. F. (2013). Filsafat Manusia. Antronesia.
Retrieved from https://antronesia.com/filsafat-manusia/
Tauchid, M. (2009). Masalah Agraria sebagai Masalah
Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia. In STPN Press.
Wiranata, I. G. A. B. (2011). Antropologi Budaya. PT
CITRA ADITYA ABADI.
Komentar
Posting Komentar